Reseller Shopee di Asia Tenggara Tertekan Lonjakan Biaya: Banyak yang Tutup Toko

INFO OPPORTUNITY.ID– Para reseller Shopee di berbagai negara Asia Tenggara kini semakin vokal menyuarakan kekecewaan mereka. Lonjakan biaya operasional, mulai dari komisi, biaya transaksi, hingga potongan pemasaran dan logistik, membuat banyak penjual kecil gulung tikar. Dominasi platform raksasa itu kini justru dianggap menekan ekosistem penjual independen yang selama ini menjadi tulang punggung pertumbuhannya.
Pada 2025, sejumlah reseller mengeluhkan bahwa total take rates atau potongan yang diterapkan Shopee kini mencapai 9–13%, bahkan bisa menembus 20–25% jika dihitung bersama biaya iklan dan logistik. Biaya iklan (ads) yang terus meningkat namun dinilai tidak efektif semakin memperburuk situasi. Perubahan algoritma juga membuat views organik menurun drastis, memaksa penjual bergantung pada iklan berbayar untuk menjaga visibilitas produk mereka.
“Dalam setahun terakhir, kebijakan platform membuat banyak berpikir ulang untuk melanjutkan aktivitas sebagai affiliator. Komisi makin ditekan, tapi justru kita harus lebih banyak keluar biaya untuk iklan,” ujar Galih, reseller aktif Shopee dari Keraton Herbal, yang rutin melakukan livestreaming.
Kenaikan Biaya Beruntun Sejak Awal 2025
Gelombang keluhan ini bermula sejak Februari 2025, ketika Shopee mengumumkan kenaikan biaya bagi seller non-Fulfilled by Shopee (FBS) dan non-Mall. Komisi naik dari 5,45% menjadi 7,63%, biaya transaksi meningkat dari 2,18% menjadi 3,27%, dan ongkos pengiriman paket di bawah 1 kg di Singapura naik dari S$1,53 menjadi S$2,03.
Akibatnya, banyak reseller terpaksa menaikkan harga jual 3–5% atau bahkan menghapus sejumlah produk (delisting) untuk menekan kerugian. Biaya iklan yang dianggap tidak efisien pun membuat mereka kesulitan menjaga performa penjualan.
Pada Maret 2025, Sea Group—induk Shopee—menargetkan pertumbuhan GMV sebesar 20% untuk tahun berjalan. Pendapatan iklan naik lebih dari 50% year-on-year (YoY) pada kuartal IV 2024, dengan take rate iklan meningkat lebih dari 50 basis poin. Namun, fokus Shopee terhadap iklan berbayar membuat views organik untuk penjual kecil makin tertekan.
Kebijakan Baru: AI Tools dan Penalti Ketat
Pada April 2025, Shopee memperkenalkan alat berbasis AI untuk membantu seller membuat konten produk dan melayani pembeli tanpa biaya tambahan. Namun, langkah ini dibarengi dengan aturan baru terkait Late Shipment Rate (LSR)—batas keterlambatan pengiriman—yang kini maksimal 10%. Pelanggaran atas kebijakan ini bisa berujung pada penalti berupa penurunan views.
Tak lama setelah itu, pada Mei 2025, Shopee menambah beban bagi seller dengan menerapkan biaya transaksi SPayLater sebesar 4,5%, meskipun diklaim dapat meningkatkan konversi penjualan. Sea Group mencatat pendapatan marketplace Shopee sebesar US$3,1 miliar, naik 29% YoY, terutama didorong oleh komisi dan iklan.
Namun, di balik pertumbuhan itu, reseller kecil justru makin terpukul. Banyak yang mengeluhkan margin keuntungan menipis, sementara biaya pemasaran terus meningkat.
Analis: Risiko Churn Semakin Besar
Dalam panggilan laporan keuangan Q2 2025, Divya Kothiyal dari Morgan Stanley menyoroti bahwa peningkatan take rate memang menguntungkan Shopee, tetapi juga menekan margin reseller. “Respons seller terhadap komisi yang lebih tinggi menunjukkan tekanan yang nyata. Apakah Shopee siap menghadapi risiko churn (perpindahan seller)?” ujarnya.
Kekhawatiran itu terbukti sepanjang pertengahan 2025. Meski Shopee berkolaborasi dengan Meta untuk mengembangkan fitur social commerce seperti Shopee Video Mission dan livestream shopping, banyak reseller mengeluhkan bahwa biaya iklan berbayar terus naik tanpa hasil signifikan.
Data Sea Group Q2 2025 mencatat pendapatan total mencapai US$5,3 miliar (naik 40% YoY), GMV Shopee tumbuh 25%, dan laba bersih naik ke US$414 juta. Namun, di sisi lain, banyak reseller melaporkan penurunan pendapatan bersih 3–5% akibat biaya total yang membengkak hingga 25%.
Ribuan Toko Tutup
Menurut laporan media pada awal Oktober 2025, lebih dari 88.000 toko di Vietnam menutup operasinya sejak 2024 akibat tekanan biaya Shopee, dan tren ini berlanjut di 2025 di seluruh Asia Tenggara.
Di Indonesia, keluhan serupa ramai dibahas di platform X (Twitter). Banyak penjual mengaku bahwa meski sudah menggunakan iklan berbayar, produk mereka tidak lagi muncul di halaman utama pencarian Shopee. Beberapa di antaranya mulai memindahkan aktivitas ke platform lain seperti TikTok Shop dan Lazada, yang menawarkan biaya lebih rendah dan dukungan lebih stabil.
Prospek ke Depan
Shopee dijadwalkan merilis laporan keuangan Q3 pada 18 November 2025. Banyak analis memperkirakan pendapatan perusahaan akan tetap tumbuh, tetapi tekanan terhadap reseller juga akan berlanjut.
Alicia Yap, analis Citigroup, memperingatkan bahwa Shopee harus berhati-hati. “Shopee harus menyeimbangkan monetisasi dengan retensi seller untuk menjaga momentum pertumbuhan jangka panjang,” katanya.
Di tengah tekanan biaya, para reseller kini dihadapkan pada dilema: bertahan dengan margin tipis di Shopee, atau berpindah ke platform lain demi kelangsungan bisnis mereka.