Demam Mainan Labubu Mulai Meredup, Era Keemasan Reseller Pop Mart Berakhir
INFO OPPORTUNITY.ID-Setelah sempat menjadi ladang cuan bagi para kolektor dan reseller, demam mainan Labubu kini mulai meredup. Harga di pasar resale atau penjualan kembali anjlok drastis, menandai berakhirnya masa keemasan “membalik keuntungan mudah” dari mainan produksi Pop Mart International Group Ltd. (9992.HK).
Dari Fenomena Kolektor ke Koreksi Pasar
Kasidit Teerawiboosin (22), reseller mainan Pop Mart asal Thailand, mengakui bahwa masa manis bisnis Labubu kini hanya tinggal kenangan.“Harga di pasar resale Thailand turun sangat, sangat cepat,” ujarnya kepada Reuters.
Sejak awal 2024, Teerawiboosin aktif menjual berbagai seri mainan Pop Mart, terutama Labubu dari seri “The Monsters”, yang sempat mendunia berkat penggemar selebritas seperti Lisa BLACKPINK, Rihanna, hingga David Beckham.
Namun, tren tersebut kini berbalik arah. Berdasarkan data dari platform resale mainan seni asal Tiongkok, Qiandao, harga karakter Labubu “Luck” yang diluncurkan pada April mencapai puncak di atas 500 yuan (US$70) pada Juni. Kini, harganya hanya sekitar 108 yuan (US$15) — anjlok lebih dari 75%. Bahkan beberapa karakter dijual lebih murah dari harga resmi di toko Pop Mart.
Saham Pop Mart Ikut Terkoreksi
Koreksi harga resale Labubu berdampak langsung pada sentimen investor. Harga saham Pop Mart telah turun sekitar 25% sejak puncaknya pada Agustus, meski secara keseluruhan masih mencatat kenaikan 186% sepanjang 2025.
Sebagian analis menilai penurunan harga ini disebabkan melemahnya permintaan. Namun, pihak Pop Mart menegaskan bahwa faktor utama justru peningkatan suplai, bukan berkurangnya minat pembeli. “Ini mirip seperti tiket konser,” ujar Sid Si, Direktur Eksekutif sekaligus Co-COO Pop Mart.
“Bedanya, kalau konser tak bisa menambah kursi, kami bisa memperbanyak pasokan mainan untuk mengurangi tekanan permintaan,” tambahnya.
Tahun ini, Pop Mart meningkatkan produksi boneka plush Labubu hingga 10 kali lipat, dengan kapasitas mencapai 30 juta unit per bulan.
Antara Permintaan yang Terpenuhi dan Pasokan Berlebih
Menurut analis Morningstar, Jeff Zhang, penurunan harga resale kemungkinan besar menandakan dua hal: permintaan yang sudah terpenuhi atau pasokan yang meningkat tajam.
Selain itu, para reseller yang sebelumnya memborong stok untuk dijual kembali juga ikut menyumbang kelebihan pasokan di pasar. “Permintaan resale mungkin bukan lagi masalah utama,” jelas Zhang.
“Namun investor bisa mulai memperhitungkan risiko jika pertumbuhan pendapatan Pop Mart telah mencapai puncaknya tahun ini.”
Berdasarkan laporan bursa, pendapatan Pop Mart tumbuh hingga 250% pada kuartal Juli–September, melampaui pertumbuhan 204% di paruh pertama tahun.
Koreksi Sementara atau Tren Baru?
Dalam catatan kepada klien pada September, analis Morgan Stanley menilai bahwa penurunan harga di pasar resale tidak sepenuhnya mencerminkan kondisi riil permintaan dan pasokan.
Pop Mart disebut telah membatasi praktik scalping — jual beli kembali dengan harga tinggi — pada 2025, sehingga penurunan harga sekunder bisa jadi hanyalah koreksi sehat, bukan tanda pasar melemah.
Morgan Stanley menambahkan bahwa karakter baru seperti “Twinkle Twinkle” serta ekspansi internasional masih menjadi motor pertumbuhan utama Pop Mart dalam waktu dekat.
Reseller Thailand Mulai Melirik Pasar Luar Negeri
Seiring dibukanya toko Pop Mart terbesar di Bangkok pada Agustus 2025, peluang untuk menjual langsung ke konsumen lokal semakin besar. Namun, kondisi ini juga menekan margin para reseller.“Reseller kini mulai mengekspor ke negara lain seperti Eropa dan Rusia, tempat yang belum memiliki toko resmi Pop Mart,” ungkap Teerawiboosin.
Meski pasar resale Labubu mulai kehilangan pamornya, Pop Mart tampaknya masih memiliki strategi untuk menjaga momentum — dari diversifikasi karakter hingga ekspansi global. Namun bagi para kolektor dan reseller, masa cuan instan dari Labubu tampaknya sudah benar-benar berlalu.