Mindful Production: Strategi Brand Lokal Menjawab Tuntutan Konsumen Masa Kini

INFO OPPORTUNITY.ID-Dalam beberapa tahun terakhir, pola pikir konsumen mengalami pergeseran yang signifikan. Masyarakat kini tidak lagi hanya terpaku pada desain dan harga produk, tetapi mulai memperhatikan proses di balik pembuatannya—siapa pembuatnya, bagaimana dampaknya terhadap lingkungan, dan nilai apa yang diusung. Perubahan ini mencerminkan munculnya tren mindful consumerism, sebuah gerakan yang menekankan kesadaran dalam berbelanja.
Hasil survei IBM tahun 2023 mengungkapkan bahwa 62% konsumen global rela mengubah perilaku belanjanya demi mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan. Fenomena ini juga makin terlihat jelas di Indonesia, khususnya di kalangan generasi muda.
Generasi Z menjadi pendorong utama perubahan ini. Mereka menuntut agar brand bersikap lebih transparan dan bertanggung jawab. Untuk memenangkan hati pasar ini, brand lokal tidak cukup hanya menawarkan produk menarik. Mereka perlu menjalani transformasi mendalam melalui pendekatan mindful production—yaitu praktik produksi yang mempertimbangkan dampak sosial, lingkungan, dan keberlanjutan.
Menurut Abdurrahman Robbani, Head of Emerging Brand di Hypefast, produksi yang berkesadaran tidak harus mahal atau sempurna. Intinya adalah bagaimana sebuah brand mengambil keputusan produksi dengan pertimbangan pada manusia, bumi, dan masa depan.
Mengadopsi mindful production bukan hanya langkah etis, tapi juga strategi bisnis jangka panjang. Di tengah kompetisi industri kreatif yang semakin ketat, brand yang mampu menunjukkan kepedulian terhadap dampak produksinya akan lebih mudah mendapat tempat di hati konsumen.
Robbani menambahkan, brand lokal memiliki keunggulan dalam kedekatan dengan komunitas dan cerita yang autentik. Nilai-nilai ini bisa menjadi kekuatan besar jika selaras dengan praktik produksi yang ramah lingkungan dan manusiawi.
Langkah Nyata Menuju Mindful Production
Salah satu aspek krusial dalam menerapkan produksi berkesadaran adalah manajemen limbah sejak proses awal. Di industri fashion dan tekstil, misalnya, limbah pewarna, bahan sintetis, dan sisa potongan kain dapat mencemari lingkungan jika tidak ditangani dengan baik.
Berdasarkan laporan Bappenas, tanpa upaya konkret, industri tekstil diproyeksikan menghasilkan sekitar 3,9 juta ton limbah pada tahun 2030. Oleh karena itu, penting bagi brand untuk mengenal dan memilih bahan baku secara bijak. Penggunaan deadstock, material lokal, dan bahan daur ulang menjadi pilihan yang kian relevan. Pendekatan kreatif terhadap prinsip reduce, reuse, recycle juga sangat dianjurkan.
Beberapa brand telah menunjukkan praktik nyata. Nona Rara, misalnya, memanfaatkan limbah kain dan payet untuk membuat boneka dan aksesori seperti bros, yang berhasil mengurangi limbah produksinya hingga 75%. Di industri kecantikan, Luxcrime menggandeng organisasi Seven Clean Seas untuk mendaur ulang kemasan produknya.
Namun, mindful production tak hanya menyentuh soal bahan. Faktor manusia juga menjadi fokus. Laporan Katadata Insight Center tahun 2024 menyebutkan bahwa 73% Gen Z Indonesia lebih mempercayai brand yang menjelaskan proses produksinya secara terbuka, dibandingkan yang hanya menampilkan hasil akhir.
Transparansi menjadi kunci membangun kepercayaan. Brand seperti SukkhaCitta, misalnya, tidak hanya menyoroti produk, tetapi juga menceritakan kisah para perajin dan proses produksinya. Pendekatan ini menciptakan koneksi emosional antara brand dan konsumennya.
Peluang Bisnis dari Praktik yang Berkesadaran
Langkah-langkah menuju produksi yang bertanggung jawab tidak hanya membawa dampak sosial dan lingkungan yang positif, tetapi juga membuka peluang bisnis baru. Contohnya, Nona Rara kini mulai mengembangkan lini produk aksesori dari bahan sisa yang ternyata mendapat sambutan hangat dari generasi muda.
“Mindful production bukan sekadar tren musiman, tapi sudah menjadi kebutuhan mendasar. Ini adalah jalan bagi brand untuk tumbuh secara utuh—baik secara ekonomi, sosial, maupun lingkungan,” tegas Robbani.
Ia juga menekankan bahwa brand yang mampu menjadi bagian dari solusi akan lebih dari sekadar bertahan. Mereka akan memimpin perubahan. Praktik ini sejalan dengan arah kebijakan pemerintah, seperti yang tercantum dalam RPJMN 2020–2024 dan target Net Zero Emission Indonesia pada tahun 2060.